Jumat, 27 November 2015

MUHAMMAD IBNU TARKHAN IBNU AUZALAGH (AL-FARABI)


Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibnu Muhammad ibnu Tarkhan ibnu Auzalagh. Di kalangan orang-orang latin  abad tengah, Al-farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia lahir di wasij, distrik farab (sekarang dikenal dengan kota atrar), Turkistan pada 257 H (870 M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan persia dan ibunya berkebangsaaan turki. Pada waktu madunya, Al-farabi pernah belajar bahasa dan sastra arab di baghdad kepada abu dakar As-saraj, dan logika sarta filsafat epada Abu Basyr Mattitus ibnu yunus, seorang kristen nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat  nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan juga belajar kepada yuhana ibnu hailam.kemudian, ia pindah ke harran, pusat kebudayaan yunani diasia kecil, dan berguru kepada yuhana ibnu jilad. Tidak berapa lama, ia kembali ke baghdad untuk memperdalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun. Di baghdad ini, ia menulis dan membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat yunani dan mengajarkan kepada murid-muridnya. Di antara muridnya yang terkenal adalah yahya ibnu ‘Adi, filsuf kristen.  
            
Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke damaskus, dan berkenalan dengan saif Al-Hamdani, sultan dinasti hamdan di aleppo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali, tatapi al-farabi lebih memilih hidup sedarhana (zuhud dan tida tertarik dengn kemewahan dan kekayaan).ia hanya mamerlukan empat dirham sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal yang menggembirakan al-farabi di tempat ini adalah bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqh, dan kaum cendikiawan lainnya.

Konon, kegemaran membaca dan menulisnya sering dilakukannya dibawah sinar lampu sepanjang malam. Adapun sisa tunjangan jabatan yang diterimanya, dibagi-bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di aleppo dan damaskus. Lebih kurang 10 tahun Al-farabi hidup di dua kota itu secara berpindah-pindah. Akan tetapi, hubungan penguasa  kedua kota ini semakin memburuk sehingga saif addaulah menyerbu kota damaskus yang kemudian dapat dikuasai. Dalam penyerbuan ini, al-farabi diikut sertakan. Pada bulan desember 950 M,al farabi meninggal di damaskus dalam usia 80 tahun. Al-farabi yang dikenal sebagai filsuf islam terbesar, memiliki keahlian dalam bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna. Itulah sebabnya, filsuf yang sesudahnya, seperti ibnu sina dan ibnu rosid banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya. pandangannya mengenai filsafatnya, terbukti dengan usahanya untuk mengakhiri kontradiksi pemikira plato dengan aristoteles lewat risalahnya al jam’u baina ra’yay al hakimain aflatun wa aristhu. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ibnu sina telah membaca 40 kali buku metafisika karangan aristoteles, bahkan hampir seluruh isi buku itu dihafalnya, tetapi belum dipahaminya. Baru;ah ibnu sina memahami benar filsafat aristoteles setelah membaca buku al farabi, Tahqiq Ghardh Aristhu Fi Kitab ma Ba’da Ath – Thabi’ah yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika aristoteles. Pengetahuannya yang mendalam mengenai filsafat yunani, terutama plato dan aristoteles, yang dijuluki Al Mu’allim Ats-Tsani (guru kedua), sedangkan Al Mu’allim Ats-Awwal (guru pertama) adalah aristoteles.