Jumat, 29 Juli 2016

Budaya yang Sirna Dimakan Media

Oleh    : Ahmad Duriyatan Toyyibah


            Ibarat kekayaan, budaya mungkin termasuk harta paling berharga dan telah menjadi rahasia umum bahwa budaya merefleksikan karakter sebuah komunitas yang membentuknya sehingga menjadi sesuatu yang ambigu dan relatif.

Archipelogo ini, dengan 34 provinsi, 16.500 pulau, 260 juta penduduk yang dimiliknya telah melahirkan banyak budaya yang tumbuh dan berkembang, meski diantaranya ada harus ada yang terkubur dalam kemajuan masa yang silih berganti.

Budaya dengan divertasinya mempunyai potensi untuk menjadi permata bahkan menjadi bara api yang dapat membumi henguskan ideologi bangsa. Jika ditinjau dari segi terbentuknya budaya dapat diklarifikasikan kedalam dua proporsi.

Pertama, budaya yang bernilai positif yang terbentuk ditengah komunitas yang energik, produktif, dan normatif. Budaya ini meliputi perilaku sosial yang luhur seperti tolong menolong, kepekaan sosial yang tinggi dan pribadi luhur lainnya. Budaya seperti ini harus terus dibudidayakan dan disinergikan dengan perilaku sosial sehari-sehari.

Kedua, ialah Budaya yang mempunyai nilai disnormatif. Budaya ini terbentuk dari habitual yang buruk seperti malas bekerja, berkata kotor dan meninggalkan ibadah. Budaya ini tumbuh ditengah lingkungan ditengah keluarga yang tidak harmonis sehingga secara tidak langsung akan membentuk karakter yang tidak baik pula.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa budaya negatif lebih cepat berkembang dan mempersuasi generasi-generasi muda untuk bertindak diluar batas norma. Seperti budaya yang terbentuk dari kebiasaan menonton televisi yang kebanyakan menyajikan tindak kekerasan, asusila, dan gaya hidup berlebihan sehingga secara tidak langsung turut merangsang anak dalam bertindak. Belum lagi penggunaan sosial media yang disalahgunakan seperti media sosial facebook yang seharusnya menjadi sarana membangun komunikasi malah terkadang menjadi sebab timbulnya perpecahan seperti halnya kasus pencemaran nama baik. Sama halnya dengan yahoo messager, BBM, twitter, line, dan kakao talk yang turut membentuk budaya anti sosial karena kebanyakan pengguna media sosial lebih banyak menghabiskan waktunya dengan gadgetnya.

Maka menurut hemat penulis sudah saatnya pendidikan budaya bernilai positif terus digalakkan dan diajarkan, khususnya oleh para guru, orang tua, dan instansi pendidikan lebih-lebih oleh lingkungan tempat seseorang tinggal.

Sehingga pada nantinya tercipta peradaban yang unggul dimana nilai-nilai luhur bisa terus hidup dan mewarnai tiap-tiap sendi kehidupan insan. Mengkrediblekan perilaku non konstruktif yang dapat menjadi muasal hancurnya sebuah peradaban.